TEMPO.CO , Jakarta:Sumpah
Pemuda pada 28 Oktober 1928 nyaris gagal dilantangkan di Kongres Pemuda
II. Pasalnya, Kongres Pemuda II di Gedung Kramat 106 hampir dibubarkan
dinas intelijen politik Belanda, Politieke Inlichtingen Dienst (PID).
Menurut artikel Jejak Samar Bapak Kos Dokter Politik dari Timur di
Majalah TEMPO 2 November 2008, »Kongres Pemuda II berlangsung pada 27-28
Oktober dalam tiga tahap rapat.”
Pertama di gedung
Katholieke Jongelingen Bond di Waterlooplein (sekarang Lapangan
Banteng). Kedua, di Oost Java Bioscoop di Konigsplein Noord (sekarang
Jalan Medan Merdeka Utara). Ketiga di Gedung Kramat 106 sekaligus
penutupan rapat.
Rapat ketiga pada Senin malam, 28
Oktober 1928, hampir bubar. Sebab, petugas PID menyela rapat. Mereka
mengancam mengeluarkan peserta rapat di bawah usia 18 tahun karena
mendengar perkataan ‘kemerdekaan’. Padahal dari total 750 peserta rapat,
banyak yang berusia di bawah 18 tahun.
Belanda memang
selalu mengawasi ketat kegiatan rapat pemuda. Sebab, saat itu Gubernur
Jenderal H.J. de Graff menjalankan politik tangan besi.
Belanda sebenarnya mengakui hak penduduk di atas 18 tahun mengadakan
perkumpulan dan rapat. Namun mereka bisa sewaktu-waktu memberlakukan
vergader-verbod atau larangan mengadakan rapat, karena dianggap
menentang pemerintah.
Tak heran jika Kongres Pemuda II
diintai ketat PID. Meski sempat disela PID, rapat Kongres Pemuda II
akhirnya terus berjalan. Ketua rapat Soegondo Djojopoespito pun
membacakan resolusi.
Di rumah Jalan Kramat 106, tiga
butir sumpah pemuda berkumandang. Kami putra dan putri Indonesia,
mengaku, bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Berbangsa satu, bangsa
Indonesia. Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
No comments ... Leave one now
Gunakan OpenID atau Name/URL jika tidak memiliki akun Google+ untuk meninggalkan komentar :D.